Mengapa Penegak Hukum Melanggar Hukum?
Adikku
melanggar hukum
Aku yang menjadi saksi
Paman penuntut umum
Ayah yang mengadili
Walau ibu gigih membela,
yang salah diputus salah... (OG "Nasida Ria")
Saat mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, ketangkap tangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) masyarakat banyak yang kaget. Bagaimana mungkin
seorang penegak hukum akhirnya justru menjadi pelanggar hukum?
Sebenarnya hal itu sudah jamak. Sejak jaman Orde Baru (Orba) pelanggar hukum
dari penegak hukum sudah banyak, hanya tidak bisa terungkap karena berlindung
di balik kekuasaan absolut. Sekarang, para penegak hukum yang terlibat kasus
mulai terkuak.
Lihat saja kasus yang menimpa Lilik S Haryanto (Direktur Perdata Dirjen
Administrasi Hukum Umum), Djoko Susilo (kepala Korps Lalu Lintas Polri),
Setyabudi Tejocahyono (wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung), Asmadinata dan
Pragsono (Majelis Hakim Tipikor Semarang), Sistoyo (Kepala Subbagian Pembinaan
Kejari Cibinong), dan Iwan Siswanto (Kepala Rutan Markas Komando Brimob Kelapa
Dua, Depok).
Meskipun terbilang sudah lama tetapi mendiskusikan bagaimana para penegak hukum
sampai terjerat kasus hukum tetap penting. Mengapa? Pertama, selamanya hukum
itu menjadi aturan tertulis yang semua orang berkepentingan, apalagi berkaitan
dengan kekuasaan. Kedua, opini bahwa penegakan hukum, meskipun berdampak
ringan, tetap harus dilakukan sebagai sebuah pertanggungjawaban kita kepada
masyarakat. Opini juga bisa berarti untuk terus melakukan penggalangan. Sebab
jika kekuasaan sudah disalahgunakan, opini publik harus bicara.
Mencari Sebab
Ada beberapa alasan mengapa para penegak hukum di Indonesia terlibat kasus
hukum. Indonesia belum menjadi negara hukum, tetapi negara kekuasaan.
Dengan kata lain hukum belum menjadi panglima, justru politiklah yang menjadi
panglima. Setiap kejadian yang berhubungan dengan “kejahatan negara” direkayasa
sedemikian rupa sehingga berada dalam wilayah politis.
Itu mengakibatkan semua lembaga negara dan partai politik berusaha untuk saling
menjatuhkan. Partai penguasa dengan segala cara melundungi kekuasaan yang
seolah dirongrong masyarakat. Padahal ada kejanggalan-kejanggalan dalam
penyelenggaraan negara. Lihat saja komentar-komentar dan campur tangan lembaga
eksekutif dalam penanganan kasus KPK. Intinya, lembaga hukum belum menjadi
lembaga independen.
KPK bukan lembaga suci yang bebas dari campur tangan negara. Ia lembaga politis
yang dibentuk penyelenggara dan diharapkan menguntungkan penyelenggara negara
juga. Ini sudah jamak. Lihat juga komentar presiden soal “Bunda Putri”. Partai
yang tidak berkuasa juga berusaha bagaimana bisa menjatuhkan pamor partai
penguasa. Inilah kalau negara diselenggarakan secara politis. Yang berkuasa
meresa dirongrong, yang tidak berkuasa harus merongrong. Jadi setali tiga uang.
Disamping itu, kepentingan politis seringkali menjadi dasar pemilihan pimpinan
lembaga hukum. Saat ada seleksi pimpinan lembaga hukum diwarnai dengan
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Tak jarang di sini terjadi
kesepakatan-kesepakatan politik. Harapannya, jika terpilih nanti kasus-kasus
yang melingkari lembaganya pemilih bisa diamankan. Misalnya, partai X
menjagokan Y untuk dipilih menjadi pimpinan lembaga hukum. Harapannya,
kasus-kasus yang menimpa partai X diharapkan dilindungi oleh Y.
Akibat demikian tidak ada lembaga hukum yang independen. Kalau sudah begini,
maka tak ada jaminan setiap penyelesaian kasus hukum bisa diproses dan diputus
secara adil. Kalaupun sudah diputus bisa jadi suatu saat nanti akan ‘dimainkan”
oleh lembaga lain yang mempunyai kepentingan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Hukum memang harus ditegakkan di tengah penegak hukum yang punya masalah
sekalipun. Hukum tidak salah. Jika ada yang mengatakan ada apa dengan hukum
kita yang benar adalah ada apa dengan penegak hukum kita. Itu sama dengan
ungkapan salah “politik itu kotor”. Bukan politiknya yang kotor, tetapi
orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Kalau penegak hukum saja bermasalah apa yang harus dilakukan? Tidak ada
strategi jitu dan cepat untuk mengatasinya. Namun demikian, setiap upaya
penegakan hukum, sekecil apapun dan ada kepentingan apapun, jelas perlu
didukung. Misalnya, meskipun ada yang mencurigai bahwa perilaku KPK itu
ditunggangi pihak tertentu, masyarakat tetap perlu mendukung kebijakan KPK.
Daripada tidak berbuat apa-apa, bukan? Perkara apakah KPK berani mengusut
“Bunda Putri” dan lingkaran presiden bukan berarti setiap langkah KPK harus
dijegal hanya karena berpihak. Dengan kata lain, tidak ada alasan tak mendukung
KPK meskipun KPK "diancam” Cikeas (misalnya) untuk tak mengupas kasus
keluarga presiden itu.
Kekuasaan selamanya memang mencengkeram hukum, produk hukum, dan penegak
hukumnya. Menunggu political will (kemauan politik) pemerintah bisa jadi
memakan waktu lama. Oleh karena itu menggalang kekuatan massa menjadi pilihan
alternatif. Massa itu nanti akan menjadi kekuatan penekan (pressure grup).
Mengampanyekan program antikorupsi, ganyang koruptor, gantung koruptor, dan
gerakan lain layak untuk didukung sekecil apapun dampaknya. Salah satu kampanye
yang sekarang marak dan berdampak jitu adalah melalui media massa (cetak,
elektronik, online).
Hal demikian penting dilakukan karena masyarakat kita sudah melek media. Ini
bukan berarti bahwa mereka yang tak melek media tidak perlu dilibatkan.
Masalahnya, mereka ini biasanya akan mengikuti apa yang dikatakan oleh kelompok
melek media. Jadi, sasaran pada kelompok melek media berkaitan dengan
gerakan kampanye antikorupsi menemukan sasarannya.
Kampanye lewat media massa salah satunya dilakukan dengan gerakan-gerakan
yang bisa diliput media. Alasannya, buat apa gerakan politik yang melibatkan
banyak orang kalau akhirnya tidak diliput media?
Dari sinilah akan muncul budaya malu dari politisi, pemegang kekuasaan sampai
para penegak hukum. Saat ini, para penegak hukum tidak punya malu berbuat
jahat karena memang sanksi hukum kita tidak tegas dan nyata. Hukum masih
dijadikan “pajangan” dengan sanksi menurut kepentingan kekuasaan dan yang punya
uang.
Nurudin
Penulis adalah Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur.
Twitter: @nurudinwriter
Sumber: www.okezone.com
0 Response to "Mengapa Penegak Hukum Melanggar Hukum?"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!