Perdebatan tentang Sholat Rabu Wekasan
Menurut
sebagian orang bulan Shafar adalah bulan yang seram dan angker. Bulan ini
diyakini sebagai bulan pembawa sial (naas). Pada bulan ini konon turun berbagai
macam wabah dan malapetaka. Kalau tidak hati-hati siapapun akan ditimpa
malapetaka yang mengenaskan. Karena itu siapa saja harus benar-benar waspada!
Jika tidak, ia kan menyesal dikemudian hari. Kenyataan ini sudah turun temurun
sudah demikian melekat di hati sebagian masyarakat kita.
Banyak cara
yang dilakukan dalam mengekspresikan kewaspadaan tersebut. Ada yang membikin
bubur. Ada yang meminum air berisi rajah (mantra bertuliskan arab). Bahkan
saking ekstrimya, ada yang tidak mau menikah dan bepergian jauh pada bulan ini.
Khusus hari rabu bulan ini, umumnya mereka rame-rame sholat lidaf’il bala’ (
tolakbala’). Atau yang lebih populer disebut “sholat rabuwekasan”. ini semua
merupakan ritual untuk menangkal setiap bala’ yang diyakini bakal
turun.
Menyikapi
persoalan ini, hingga detik ini terjadi pro-kontra di tengah masyarakat. Bagi
yang pro akan benar-benar mensakralkan bulan ini. Sehingga berbagai ritual dan
ibadah dilakukan. Sementara bagi yang kontra, menganggap semua itu sebagai
mitos belaka. Sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Konsekuensinya, mereka
tidak bisa berbuat apa-apa.
TA (Tanwirul
Afkar) edisi ini akan menjelentrehkan persoalan tersebut secara proporsional.
Tentunya,-sebagaimana ciri khas TA-dari perspektif fiqh. Untuk itulah, ada
sederet pertanyaan yang patut diajukan di sini. Bolehkah meyakini bulan Shafar
sebagai bulan sial (naas)?. Bagaimana pandangan fiqh terhadap ritual pada bulan
ini ? apakah sholat Rabu Wekasan itu? Bagaimana tata caranya?
Benarkah semua itu tidak ada dasar hukumnya?
Sebelum
menjawab pertanyaan sederet di atas, terlebih kita melacak asal muasal
keyakinan turunnya bala’ pada bulan shafar ini. Jika kita cermati,
boleh jadi mereka mendasarkan kepada kitab yang kesohor di Jawa, yaitu
kitab Mujarrabat. Mujarrabat bentuk jamak dari Mujarraba atauMujarrab.
Asal arti harfiahnya ; hal-hal yang sudah dicoba. Kira-kira maksudnya, ya
manjur atau mujarab. Kitab yang berisi demikian bukan hanya satu versi. Ada
yang melulu berisi do’a, suwuk, rajah azimat dan sebagainya ada
juga yang dirangkai dengan cara-cara ibadah seperti sholat, puasa, haji dan
sebagainya.
Konon bala’ itu
turun pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Itulah yang akhirnya disebut-sebut
dengan rabu wekasan. Dalam tadzkirah Ulul al-Bab atau Mujarrabat-nya
Shakh Ahmad Dairoby diakhir bab XVIII, disebutkan “dari kalangan orang-orang
arif dan ahli kasyf(terbuka mata hatinya) ada yang menuturkan bahwa setiap
tahun turun 3200 bala’(malapetaka), dan itu semua turun pada rabu terakhir
bulan Shafar. sehingga hari itu menjadi hari paling naas dalam satu tahun.
Barang siapa yang hari itu sholat empat rakaat, setiap rakaat sesudah al-fatihah membaca
Surat al-Kaustar tujuh belas kali, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nass masing-masing
satu kali, lalu membaca do’a (khusus) maka Allah dengan sifat belas kasihNya
menjaga orang tersebut dari seluruh bala’ yang turun pada hari itu.
Dan sekelilingnya tidak akan terserang bala’ sepanjang tahun”. (mujarrabat
al-Dairaby, 74 ;Tadzkiroh Ulul al-Albab, juz 11, 195 ; Kanz an-Najah
Wa as-Surur, 26-27). Uraian inilah yang sering dijadikan referensi bagi
sebagian kaum muslimin dalam ‘mengsakralkan’ bulan Shafar dan sholat rabu wekasan.
Yang jelas, semua ini dibangun berdasarkan perkataan seorang ahli kasyf(menurut
al-Antoky dan Abdul Hamid Qudsi , ahli kasyf itu bernama syaikh Muhammad
Al-Ghous). Tidak bersumber dari teks al-Qur’an atau al-Hadist. Jika demikian,
lalu bagaimana hukum meyakini hari tersebut sebagai hari turunnya bala’?
Ada hadist nabi yang menjelaskan persoalan ini :
لَاعَدْوَى وَلَا هَامَ وَلَا صَفَرَ
Artiya :” Tidak
ada naas ketika berhadapan orang sakit, tidak ada naas ketika ada burung hantu,
tidak ada naas pada bulan shafar (muwatha’,629).
Hadis ini
sebagai reaksi kepada tradisi jahiliah yang muncul ketika itu. Di antara
tradisi itu adalah menganggap bulan shafar sebagai bulan naas. Menurut bulan
ini menurut mereka penuh dengan bala’ dan malapetaka. Selama di bulan
tersebut, mereka tidak berani menikah, bepergian jauh dan keluar dari rumah.
Bahkan saking takutnya mereka mengakhirkan bulan Muharram hingga masuk bulan
Shafar. dengan kata lain, menjadikan bulan shafar menjadi bulan muharram.
Melihat kenyataan yang meresahkan ini, Nabi berusaha meluruskan pandangan yang
keliru ini. Lalu datanglah hadis di atas. Karena dalam pandangan islam, shafar
adalah sebagimana bulan lainnya. (Kanzu an-Najah Wa as-Surur, 35 ; Nafahat
al-Islam Min Baladi al-Haram, 382).
Berdasarkan
hadis di atas, maka keyakinan tentang turunnya bala’ di bulan shafar
patut dipertanyakan. Karena sama sekali tidak ada dasar al-Qur’an maupun
al-Hadist yang menjelaskan hal itu. Yang ada justru hadis yang melarang ber-tasya’um (menganggap
adanya malapetaka) terhadap bulan tersebut.
Lalu bagaimana
dengan komentar ahli kasyf di atas. Para ulama’ berselisih pendapat
tentang kebolehan menjadikan ilham ahli kasyf sebagaihujjah (dasar
hukum). Menurut jumhur ulama’, hal ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Alasannya karena ahli kasyf tidak ma’shum (terjaga dari
dosa) sebagaimana seorang Nabi. Sedangkan menurut kalangan ahli sufi, ilham
bisa dijadikanhujjah bagi yang bersangkutan, tidak untuk orang lain. Kedua
pendapat ini , secara gamblang sama-sama menegaskan ketidakbolehan berhujjah dengan
semata-mata menggunakan ilham orang lain. (Jam’ul al-Jawami’, Juz 11, 356
; al-Atthor, juz 11, 394).
Apakah hal ini
secara otomatis melarang praktik sholat rabu wekasan? Tunggu dulu!. Sebab,
ternyata ada hadist Abu Hurairah yang secara eksplisit menjelaskan hal iti :
مَااجْتَمَعَ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ لِلَّهِ فِي اَخِرِ اَرْبَعَاءَ مِنْ
صَفَرَ اِلّا نَجَّاهُمُ اللهُ مِنَ الْكَوَارِثِ
“tidaklah
berkumpul suatu kaum yang sholat semata-mata karena allah pada hari rabu
terakhir bulan shafar kecusli allah menyelamatkan mereka dari mala petaka”
(HR.Thabrani).
Secara
eksplisit, hadis ini menjelaskan adanya anjuran sholat pada hari rabu terakhir
bulan shafar. Akan tetapi hadis ini tidak secara tegas, menamainya dengan
“sholat rabu wekasan“. Sebaliknya, teks tersebut mengindikasikan bahwa
sholat yang dimaksudkan adalah sholat sunnah lain yang disyariatkan. Dengan
kata lain, tidak diniati untuk sholat rabu wekasan itu sendiri.
Dengan
demikian, kalau masih ada yang ingin mengerjakan sholat rabu wekasan,
niatnya saja diubah. Jangan niat sholat rabu wekasan, tapi niat
sholat hajat (hajatnya menolak bala’, misalnya) atau sholat
sunnah mutlak begitu saja. Mereka jadi panutan, mesti menjelaskan
persoalan ini kepada jamaahnya.
Air Rajah dan Bubur
Safar
Salah satu
tradisi untuk Rabu Wekasan adalah minum air berisikan rajah.
Raja itu bertuliskan tujuh ayat dari al-Qur’an. Yakni terdiri dari ; salamun
qaulam mirrabbirrahim, salamun’ala nuhin fil’ alamin, salamun ‘ala
Ibrahim, salamun ‘ala musa wa harun, salamun ‘ala ilyasin, salamun thibtum
fadkhuluha kholidiin dan salamun hiya madla’il fajr. Menurut sebagian ahli
hikmah, barang siapa yang minum air tulisan rajah ini insya Allah akan bisa
selamat dari malapetaka. (Nihayatu al-zain 67).
Melihat praktik
ini, ada sebagian masyarakat yang merasa keberatan. Tidak lain karena hal ini
diangggap sebagai perbuatan bid’ah. Baiklah, Memang tidak ada dalil yang
menjelaskan persoalan ini. Namun jika kita amati, praktek ini dapat
dikategorikan tabarrukan terhadap al-Qur’an. Menurut sebagian ulama’
hal tersebut boleh-boleh saja. Dengan catatan, tidak meyakini air tersebut yang
bisa menyelamatkan dia. Sebaiknya, ia harus berkeyakinan yang mendatangkan
manfaat dan mudharat adalah Allah. Sedangkan, yang ia lakukan hanya
sekedarikhtiar (usaha). (Yasalakuna, juz V11, 539).
Tapi bagaimana
dengan tradisi membagi-bagikan bubus shafar? Jika kita renungkan, pemberian
bubur Shafar ini pada esensinya bermakna sedekah. Dengan demikian, berarti kan
tidak ada masalah. Bukankah kapan dan dimana saja kita dianjurkan bersedekah.
Bukankah kata Nabi , shadaqah itu bisa menolak bala’. Beliau bersabda :
اِنَّ الصَّدَ قَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتُدْفَعُ مَيْتَةَ
السُّوءِ
“sesungguhnya
sadaqah itu bisa memadamkan murka tuhan dan menolak dari mati dalam kondisi
buruk”. (Sunan Turmudzi, juz 11, 149).
Jika
paradigmanya demikian, berarti sah-sah saja membagi-bagikan bubur pada saat
bulan shafar. Bahkan hal itu jelas perbuatan sunnah. Dengan catatan, jangan
diniati semata-mata kekeramatan bulan shafar. Sebaiknya harus murni karena
Allah SWT.
‘ala kulli hal,
silahkan melakukan ritual apa saja di bulan shafar. Asalkan ritual itu tidak
bertentangan dengan syara’. Dan yang terpenting, jangan menganggap bulan ini
sebagai bulannaas. Sebab semua nasib baik dan buruk datangnya dari Allah
swt. La haula wala quwwta illa billah al-aliyyi al-adzim.
Sumber:
cyberdakwah.com
0 Response to "Perdebatan tentang Sholat Rabu Wekasan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!