Doktrin dan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum Formal
Pendapat sarjana hukum (doktrin) adalah pendapat seseorang
atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusannya.
Misalnya hakim dalam memeriksa perkara atau dalam
pertimbangan putusannya dapat menyebut doktrin dari ahli hukum tertentu. Dengan
demikian hakim dianggap telah menemukan hukumnya melalui sumber hukum yang
berupa doktrin tersebut.
Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional
(Statue of The International Court of Justice), mengakui dan menetapkan bahwa
dalm menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa
pedoman, antara lain :
a. Perjanjian-oerjanjian Internasional
(International Conventions)
b. Kebiasaan-Kebiasaan International
(International customs)
c. Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab (The general principles of law recognized by civilsed nations)
d. Keputusan Hakim (Judicial decisions) dan
pendapat-pendapat sarjana hukum
Namun doktrin tidak mengikat seperti UU, kebiasaan
traktat dan yurispudensi. Doktrin hanya memiliki wibawa yang dipandang bersifat
obyektif dan dapat dijadikan sumber penemuan hokum bagi hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo, (dalam buku Sejarah
Peradilan.hal.110 ), Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah
sumber hukum.
Ilmu hukum itu sebagai sumber hukum tapi bukan hukum karena tidak
langsung mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana undang-undang. Ilmu hukum baru mengikat dan mempunyai kekuatan
hukum bila dijadikan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan. Disamping itu
juga dikenal adagium dimana orang tidak boleh menyimpangi dari”communis opinion
doctorum” (pendapat umum para sarjana).
Yurisprudensi (Putusan Hakim)
Yurisprudensi disebut juga Keputusan Hakim atau keputusan pengadilan.
Istilah yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (Bahasa Latin), yang
berarti pengetahuan hukum (Rechts geleerheid). Yurispudensi biasa juga disebut
“judge made law” (hIkum yang dibuat pengadilan).
Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya dengan
kata “Jurisprudentia” (Bahasa Belanda) dan “Jurisprudence” dalam bahasa
Perancis yaitu, Peradilan tetap atau hukum peradilan.
Lain halnya dengan istilah Yurisprudence dalam bahasa Inggris, mempunyai
arti Teori Ilmu Hukum = Algemene Rechtsleer = Generale Theory of Law. Dalam bhs
Inggris istilah yang digunakan untuk menyebut pengertian yurisprudensi adalah
case law atau judge made law.
Pada negara yang menganut sistem common law / anglo saxon, yurispiudensi
diartikan sebagai Ilmo hukum
Pendapat tentang Yurisprudensi
Apeldoorn : yurisprudensi, doktrin dan perjanjian merupakan faktor-faktor yang
membantu pembentukan hukum.
Sedangkan Lemaire: yurisprudensi, ilmu hukum (doktrin) dan kesadaran
hukum sebagai determinan pembentukan hukum.
Sukdino M : Yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak)
yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan
oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari
pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan berwibawa. ( Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan.hal.179,)
Ada 2 jenis
yurisprudensi :
1.Yurisprudensi tetap keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian keputusan
yang serupa dan dijadikan dasar atau patokan untuk memutuskan suatu perkara
(standart arresten)
2.Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan
menjadi dasar bagi pengadilan (standart arresten)
Dasar Hukum Yurisprudensi di Indonesia
30 April 1847 dikeluarkan
Algemene Bepalingen van wetgeping voor IndonesiaIndonesia. yang disingkat
A.B. yang termuat dalam Staatsblad 1847 No.23 Diartikan sebagai
Ketentuan-ketentuan Umum Tentang Peraturan Perundangan
Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie) berbunyi :
“Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa
peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau
tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain, hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan.
Berdasarkan ketentuan pasal-paasal ini, terlihat jelas bahwa apabila
undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat di pakai untukj
menyelesaikan perkara, seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan
sendiri untuk menyelesaikan perkara terrsebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yurispudensi adalah putusan hakim yang
memuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan hukum yang kemudian diikuti
oleh hakim yang lain dalam peristiwa yang sama.
Hakim bisa menciptakan hukum sendiri, sehingga hakim mempunyai kedudukan
tersendiri sebagai pembentuk undang-undang selain Lembaga Pembuat
Undang-undang.
Keputusan hakim yang terdahulu dijadikan dasar pada keputusan hakim lain
sehingga kemudian keputusan ini menjelma menjadi keputusan hakim yang tetap
terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu.
Seorang hakim mengkuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia
sependapat dgn isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai
pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang sama.
Pembuat Undang-undang = hukum “inabstrakto” (secara umum)
Hakim = hukum “in concreto” (secara khas).
Terima kasih atas informasinya khususnya mengenai apa itu doktrin. Sukses selalu !
ReplyDeletesayang sekali, tidak ada daftar pustakanya..
ReplyDeletePak daftar pustakanya dari mana ya pak?dan bapak mengambil materi ini darimana y pak.mohon infonya ya pak.
ReplyDelete