Hukum Khutbah Jumat Menggunakan Selain Bahasa Arab
Hukum Khutbah Jumat Menggunakan Selain Bahasa Arab
Pertanyaan:
Apa hukum salat Zuhur seseorang, setelah ia melaksanakan salat Jumat di suatu
wilayah yang salat Jumatnya cuma ada satu, karena memang di Negara kami
(Syisan) menganut satu madzhab saja, yaitu Syafi'i? Pertanyaan selanjutnya
adalah menurut madzhab Syafi'i, apa hukum khotbah Jumat yang disampaikan dengan
tidak memakai bahasa Arab, karena kami non-Arab?
Jawaban:
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tujuan mendirikan salat Jumat adalah
untuk menampakkan syiar agama, sosial, dan untuk menyatukan kalimat (persepsi).
Mayoritas Ulama mensyaratkan agar salat Jumatnya sah, hendaknya salat Jumat
yang dilaksanakan di lain tempat tidak boleh mendahului atau berbarengan dengan
Jumat yang sedang ia laksanakan, kecuali jika daerah (kampung) yang
ditempatinya itu luas dan tidak memungkinkan penduduk berkumpul menjadi satu.
Dalam kondisi demikian tidak ada masalah jika salat Jumat didirikan di beberapa
daerah tertentu.
Mendirikan salat Jumat di beberapa tempat (dalam satu kampung) menurut ulama
madzhab Syafi'i ada dua pendapat, pertama-pendapat yang bisa dijadikan
pegangan-menyatakan bahwa mendirikan salat Jumat di beberapa tempat (dalam satu
kampung) diperbolehkan sesuai kebutuhan. Sementara pendapat kedua menyatakan
bahwa hal itu tidak diperbolehkan meskipun kondisi menunutut untuk didirikan salat
Jumat di tempat lain.
Berpijak dari dua pendapat yang berlawanan tersebut, maka diambil jalan tengah,
yaitu bagi siapa saja yang ingin mendirikan salat Jumat di suatu daerah
(kampung), padahal di daerah tersebut sudah terdapat salat Jumat dan dia tidak
mengetahui apakah salat Jumat yang dilaksanakannya itu mendahului salat Jumat
yang didirikan di tempat lain ataukah tidak, agar melaksanakan salat Zuhur.
Salat Zuhur ini dilaksanakan sebagai bentuk tindakan antisipasi (ikhtiyathi)
dan menghindari perbedaan pendapat di atas.
Berbeda dengan ulama mazhab Hanafi, di mana pendapat yang bisa dijadikan
pegangan oleh kelompok mereka adalah bahwasanya mereka diperbolehkan mendirikan
salat Jumat di beberapa tempat. Imam As-Sarkhasi menyatakan bahwa ini adalah
pendapat yang sahih dari madzhab Hanafi.
Atas dasar uraian diatas bisa ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya adalah:
- Syarat sahnya salat Jumat menurut mayoritas ulama adalah salat Jumat yang
didirikannya itu tidak boleh didahului oleh salat Jumat yang didirikan di
tempat lain (masih dalam satu kampung) atau tidak boleh berbarengan dengannya,
kecuali jika ada hajat (kebutuhan).
- Pendirian salat Jumat boleh berbilangan, jika ada alasan tertentu, misalkan
karena tempatnya kecil dan sempit atau karena tidak memungkinkan seluruh
penduduk berkumpul di satu tempat.
- Demi mentolerir pendapat yang tidak membolehkan pendirian salat Jumat lebih
dari satu dalam satu daerah (kampung), meskipun ada alasan (kebutuhan)
tertentu, maka disunahkan bagi seseorang yang sudah melaksanakan salat Jumat
untuk mendirikan salat Zuhur, dengan syarat dia tidak tahu (yakin) kalau salat
Jumatnya tidak didahului oleh Jumat lain atau berbarengan dengan Jumat yang
lainnya. Salat Zuhur ini hanya terbatas sebagai upaya antisipasi (ikhtiyathi)
dan hukumnya sunah, bukan suatu keharusan atau kewajiban.
Sehubungan dengan pertanyaan di atas, sesungguhnya hukum salat Zuhur yang
dilaksanakan seseorang setelah salat Jumat adalah sunah, bukan wajib. Dalam hal
ini tidak ada satu pun ulama yang mengingkari pendapat tersebut. Hendaknya kita
juga bersikap toleran sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama pendahulu kita
yang saleh. Ini merupakan bagian dari etika ketika terjadi perbedaan pendapat.
Selanjutnya Al-Baijuri dalam Hasyiah al-Baijuri (catatan pinggirnya) 'ala Syarh
Ibni Qasim 'ala Matni Abi Syuja', terbitan Mushthafa Al-Halabi mengatakan bahwa
tidak disyaratkan dalam Khotbah Jumat kecuali khotbah yang disampaikan khatib
itu bisa didengar (dipahami) oleh jamaah, Khatib diambilkan dari kaum laki-laki,
dan khotbah disampaikan dengan berbahasa Arab jika memang berada di wilayah
yang penduduknya berbahasa Arab. Namun jika tidak, maka boleh menggunakan
bahasa selain Arab, kecuali pada saat membaca ayat Al-Qur`an. Akan tetapi,
salah seorang dari mereka (yang non-Arab) wajib mempelajari bahasa Arab. Jika
tidak ada yang mau mempelajari bahasa Arab, maka seluruh penduduknya terkena
dosa dan salat Jumat yang mereka dirikan tidak sah, karena di antara mereka
sebenarnya ada yang mampu untuk belajar bahasa Arab.
Jadi, menurut madzhab Syafi'i tidak ada masalah, jika seseorang menyampaikan
khotbah Jumatnya dengan bahasa non-Arab, meskipun sebelum atau sesudahnya
khatib menyampaikannya dengan berbahasa Arab. Ini dilakukan agar mereka yang
tidak bisa berbahasa Arab bisa memahami apa yang disampaikan.
0 Response to "Hukum Khutbah Jumat Menggunakan Selain Bahasa Arab"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!