Hukum Memelihara Jenggot dan Meninggikan Ujung Celana
Hukum Memelihara Jenggot dan Meninggikan Ujung Celana
Pertanyaan:
Akhir-akhir ini
banyak bermunculan kelompok yang mewajibkan orang-orang atau pengikutnya untuk
memelihara jenggot dan mengharamkan untuk mencukurnya. Mereka juga mengharuskan
pengikutnya untuk meninggikan ujung celana dari mata kaki. Apa pendapat Yang
Mulia Mufti mengenai hukum memelihara jenggot dan meninggikan ujung celana ini?
Jawaban:
Oleh Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
Berkaitan dengan masalah jenggot, diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau juga
merapikan dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan
bentuk wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan
jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para sahabat
beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan beliau tersebut.
Terdapat banyak hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot dan merawatnya
dengan baik, serupa dengan hadis-hadis yang menganjurkan untuk bersiwak,
memotong kuku, kumis dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengartikan perintah
dalam hadis-hadis ini sebagai suatu kewajiban sehingga berpendapat bahwa
mencukur jenggot adalah perbuatan haram.
Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam hadis-hadis
itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran, sehingga menurut mereka
memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah yang pelakunya diberi pahala tapi
orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman.
Dalil para ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan
yang diharamkan adalah hadis-hadis yang memerintahkan untuk memelihara jenggot
agar berbeda dengan orang-orang Majusi dan kaum musyrikin.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhâ dari
Rasululllah SAW, beliau bersabda, "Sepuluh hal termasuk
perbuatan fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup
air untuk membersihkan hidung, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu
ketiak, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan kemaluan dengan air setelah
buang air."
Seorang perawi berkata, "Saya lupa yang kesepuluh. Kalau tidak salah ia
adalah berkumur."
Sedangkan kelompok lain yaitu para ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
perintah-perintah yang berkaitan dengan kebiasaan, makan, minum, berpakaian,
duduk, penampilan dan lain sebagainya, diartikan sebagai anjuran, karena
terdapat indikasi (qarînah) yang mengubah perintah itu dari kewajiban menjadi anjuran tentang keterkaitan perintah-perintah itu dengan hal-hal yang merupakan
kebiasaan tersebut. Para ulama ini juga memberikan contoh dengan perintah untuk
menghitamkan rambut dan melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya.
Hal ini sebagaimana penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan ulama berkaitan dengan
boleh tidaknya mencukur jenggot. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa keluar
dari masalah yang diperdebatkan adalah dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain:
barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus melakukan perbuatan
yang diperselisihkan kebolehannya dan dia tidak dapat menghindarinya, maka ia
hendaknya mentaklid (mengikuti) ulama yang membolehkan.
Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai
pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap
sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin 'Amr radhiyallahu
'anhumâ dari Nabi SAW, beliau bersabda,
"Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa
berlebihan dan sikap sombong." (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis
ini dishahihkan oleh Hakim).
Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan
celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah saw.,
"Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah
neraka." (HR. Bukhari).
Nabi SAW juga bersabda,
"Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak
dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang
pedih". Rasulullah SAW mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar
berkata, "Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang memanjangkan pakaiannya
hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang
melariskan dagangannya dengan sumpah palsu". (HR Muslim).
Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena
sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis
Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi SAW
bersabda,
"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya
(yang panjang) dengan sombong."
Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak
dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana
dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas
tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan
yang tidak sombong.
Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul:
Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau
menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata,
"Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika
saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah SAW bersabda,
"Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."
Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia berkata, "Terjadi gerhana matahari
ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW. Lalu beliau berjalan dengan
terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera
bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut
hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata,
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika
kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga
Allah menyingkapnya kembali."
Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga
di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud
sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti
keberadaan illat hukum itu.
Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah
masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah SAW
melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda
dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda,
"Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang
(karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian
kehinaan padanya pada hari Kiamat." (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari
hadis abdullah bin Umar r.a. serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).
Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan salat dengan
memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat
kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa
dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang
diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan
adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.
Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga
memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi SAW secara baik dalam
masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan
Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh
mereka dari agama ini.
Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari
tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau
tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus
memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga
tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih
memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi
dengan baik di masyarakat.
Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami
masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya
pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah, "Bicaralah kepada orang-orang
sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah
kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?" (HR. Bukhari dan lainnya).
Abdullah bin Mas'ud r.a. juga pernah berkata, "Tidaklah kamu berbicara
kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan
itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka." (HR. Muslim).
0 Response to "Hukum Memelihara Jenggot dan Meninggikan Ujung Celana"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!