Berpindah-Pindah Madzhab, Bolehkah ?
Berpindah-Pindah Madzhab, Bolehkah ?
Jawaban:
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum
Wr.Wb.
Pak
kiai yang dimuliakan Allah SWT, saya ingin bertanya tentang
ketidakbermadzhaban, dalam artian bahwa ketika seorang yang mempelajari ilmu
agama, katakanlah ilmu fiqh perbandingan madzhab yang dimana ada peraduan
kekuatan dalil dalam menyifati masalah.
Gambarannya
begini Pak Kiai, ketika membahas masalah A yang kuat adalah dalil Imam A maka
saya memakai pendapat beliau, dan ketika masalah B yang kuat pendapat Imam B
lantas saya memakai Imam B. Jadi, saya tidak bermadzhab pada satu imam saja,
tapi pada siapa yang dalilnya dikuatkan oleh mayoritas ulama? Bisa dikatakan ya
memakai pendapat Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam ibn Hambal, dll
pokoknya yang kuat yang saya pakai. Bagaimana hukumnya Pak Kiai?
Atas
jawabannya kami ucapkan banyak terima kasih!
Burhanuddin,
Lontar!
Jawaban:
Mas
Burhanuddin yang sangat terpelajar, Madzhab (dalam hal ini madzhab bidang
fiqih) bukan bawaan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW, tetapi madzhab memang
mengacu kepada ajaran yang beliau bawa. Karena itu madzhab tidak muncul sejak
awal Islam, melainkan berjalan bersamaan dengan perjalanan zaman dan wilayah
dakwah Islam. Jadi secara juridis formal, bermadzhab juga tidak wajib manakala
seseorang mampu melaksanakan ajaran Islam tanpa bermadzhab. Sebelum munculnya
madzhab, umat Islam menjalankan syariat Islam juga tanpa madzhab. Sekarang
persoalannya adalah, mampukah kita melaksanakan ajaran Islam tanpa bermadzhab.
Jawabannya, hampir mustahil bisa melakukannya karena hampir tidak ada masalah
kehidupan cakupan fiqih yang belum dibahas oleh madzhab yang ada. Sekarang
pilihannya hanyalah: ikut salah satu yang ada (inilah pilihan NU, sesuai bab II
pasal 3 ADNU, memilih salah satu dari madzhab 4), atau memilih pendapat
pendapat yang dianggap kuat dari madzhab yang ada (sebenarnya Muhammadiah ada
di jalur ini, tetapi tidak banyak yang mengakuinya), atau merasa tidak
bermadzhab (inilah mereka yang baru belajar agama tapi langsung merasa pintar).
Jika
mas Burhan menempuh jalur pilih yang kuat di antara madzhab yang ada, maka itu disebut
mirip yang ditempuh oleh Muhammadiyah, dan dalam ilmu ushul fiqih itu disebut
talfiq. Karena itu kita mesti menengok pendapat para fuqaha' tentang talfiq
ini:
Talfiq
yang secara harfiyah berarti melipat sesuatu menjadi satu, atau mempertemukan
sesuatu menjadi satu, secara operasional bermakna "beramal dalam suatu
masalah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua mazhab atau lebih",
( Hosen, dalam Ijtihad Dalam Sorotan, 36.) atau "menyatukan dua qaul dari
dua mazhab yang berbeda ke dalam problema tertentu, sehingga menjadi satu
komponen hukum yang tidak menjadi pendapat (qaul) bagi dua mazhab
tersebut". (Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih, 36.)
Para
ulama berbeda pendapat mengenai boleh-tidaknya bertalfiq, yang hal ini
bersumber dari dan berkait erat dengan boleh-tidaknya pindah dari satu mazhab
ke mazhab lainnya. Dalam masalah ini setidaknya ada tiga pendapat: (Baca
an-Nawawiy, al-Majmu', Jilid I, 55. Baca juga Hosen, dalam Ijtihad, 36-39,
Mahfudh, Nuansa Fiqih, 35-37 dan Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2
(Jakarta: Logos, 1999), 427-428.)
Pertama,
Abu Bakr al-Qaffal (291-365 H) dan Zakariya al-Ansary (w. 926 H/1520 M) dari
kalangan Syafi'iyah berpendapat, bahwa talfiq tidak diperbolehkan dengan alasan
karena orang yang telah memilih suatu mazhab berarti ia telah menetapkan apa
yang dipandangnya memiliki dalil yang kuat, sehingga secara rasional mestinya
dia harus mempertahankan pilihannya. Atau dengan kata lain manakala seseorang
telah memilih suatu dalil, maka ia harus tetap berpegang pada dalil tersebut,
sebab dalil yang dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya kuat (rajih),
sedangkan dalil yang tidak dipilihnya adalah lemah (marjuh), sehingga secara
rasional ia harus mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat tersebut.
Kedua,
Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid/Ibn Humam (750-808 H/1349-1405 M) dari
ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa talfiq diperbolehkan bahkan walaupun untuk
mencari kemudahan dan keringanan, dengan alasan karena Rasulullah SAW. sendiri
apabila disuruh memilih satu di antara dua hal, akan memilih yang paling mudah
dan ringan selama tidak membawa kepada dosa. Hal ini sejalan dengan hadis
riwayat al-Bukhariy dari Abu Hurairah RA., bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
"Sungguh
agama itu mudah, dan tak seorangpun yang mempersulit agama ini melainkan pasti
kalah (tidak sanggup). Maka bertindaklah sewajarnya, dekatilah (kesempurnaan),
bergembiralah (dengan pahala), dan pergunakan waktu pagi, siang dan sedikit
malam (diriwayatkan oleh al-Bukhariy)."
Ketiga,
Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafiy (w. 684 H/1285 M) dari kalangan
Malikiyah berpendapat, bahwa talfiq diperbolehkan walaupun dengan motivasi
mencari kemudahan dengan syarat tidak dalam satu kasus hukum (satu qadiyyah),
misalnya dalam hal rukunnya wudu mengikuti mazhab Syafi'i, sedang dalam hal
batalnya mengikuti mazhab Hanafi. Yang demikian ini adalah talfiq yang tidak
diperbolehkan.
Menanggapi
masalah talfiq ini Ibrahim Hosen, mantan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia berpendapat, bahwa yang lebih kuat adalah pendapat Ibn Humam yang
memperbolehkan talfiq, dengan alasan antara lain: (Hosen, dalam Ijtihad,
37-39.)
1.
Tidak ada nas al-Qur'an maupun as-Sunnah yang secara jelas mewajibkan seseorang
harus terikat dengan salah satu mazhab saja atau melarang seseorang untuk
berpindah mazhab.
2.
Mewajibkan seseorang untuk terikat kepada salah satu mazhab akan mempersulit
umat, dan hal ini tidak sejalan dengan prinsip syari'at Islam, yaitu kemudahan
dan kemaslahatan.
3.
Larangan talfiq muncul dari kalangan ulama khalaf (yang datang belakangan) yang
dihinggapi fanatisme mazhab. Membiarkan hal ini dapat mengakibatkan fiqih
menjadi beku dan kaku.
4.
Membenarkan talfiq bukan saja akan membawa kelapangan, tapi juga akan
menjadikan fiqih selalu dinamis dan dapat menjawab tantangan zaman.
5.
Membenarkan talfiq dengan syarat bukan dalam satu qadiyyah (kasus) adalah
bertentangan dengan realitas, sebab Imam Syafi'i sendiri tidak pernah
mengaitkan ayat tentang menyapu kepala dalam berwudu dengan ayat mengenai
menyentuh perempuan dalam hal batalnya wudu.
Di
kalangan NU masalah talfiq memang masih dipegangi, tetapi di kalangan akademisi
NU sudah mulai melonggar. Untuk hal-hal yang bersifat praktis, bagi orang awam
tetap tidak diperkenankan talfiq sebagaimana dipegangi oleh ulama Syafi'iyah,
sedang bagi yang terpelajar dan ulama, mereka boleh mengikuti golongan
Malikiyah yang memperkenankan talfiq asal tidak dalam satu qadiyyah (kasus).
Adapun dalam hal metodologis mereka cenderung kepada ulama Hanafiyah yang
memperbolehkan talfiq.
Prof.
Dr. KH. Ahmad Zahro, MA (Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya).
Referensi:
Majalah Tebuireng Edisi 13/Jan-Feb 2011
Sumber:
tebuireng.org
0 Response to "Berpindah-Pindah Madzhab, Bolehkah ?"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!