Langkah Hukum Jika Dikawini Pria Beristri yang Mengaku Duda
Pertanyaan:
Adik perempuan saya (A) menikah dengan seorang lelaki yang sudah
beristri dan beranak (B). A tidak pernah memberitahukan sebelumnya kepada
keluarga bahwa dia berniat untuk menikah dengan B, tahu-tahu dia menunjukan
surat nikah kepada orang tua kami. Dalam surat nikah tersebut ditulis bahwa B
berstatus duda dan beragama Islam, sedangkan pada kenyataannya B adalah seorang
suami yang masih terikat pada sebuah perkawinan dan sehari-hari dikenal sebagai
pemeluk agama Nasrani. Ayah saya sudah meninggal dunia, sebagai wali adik saya
ada kakak lelaki dan Paman saya, tetapi A tidak pernah meminta izin untuk
menikah terhadap walinya. Pertanyaan saya: 1. Apakah pernikahan tersebut sah
menurut hukum, dalam hal ini menurut Undang-undang Perkawinan, mengingat bahwa
status suaminya tidak sama dengan kenyataan dan istri B tidak pernah
menandatangi surat izin menikah lagi untuk B (mereka menikah secara Nasrani,
dan istri tua B adalah pemeluk Nasrani yang taat)? 2. Upaya hukum apakah yang
dapat saya tempuh untuk menuntut B yang telah menikahi A tanpa izin dari
keluarga, terlebih lagi dari wali A? 3. Apakah kami sebagai keluarga dapat
menuntut pihak KUA yang telah menikahkan A dengan B untuk membatalkan surat
nikah yang telah mereka keluarkan? Demikian pertanyaan saya, terima kasih.
Jawaban:
1. Hukumnya jika menikah lagi tanpa
izin istri
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”),
pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dan seorang yang
masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, dan memperoleh izin dari
pengadilan untuk seorang suami beristri lebih dari seorang (Pasal 9 jo Pasal 3
UUP).
Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila (Pasal 4 ayat [2] UUP):
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain itu, Pasal 5 ayat (1) UUP juga menentukan bahwa untuk
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Jadi, tanpa adanya persetujuan istri pertama dan izin dari
Pengadilan, perkawinan kedua tersebut dapat dinyatakan tidak sah dan dapat
diajukan pembatalannya.
2. Upaya hukum terhadap B
Sebenarnya bagi setiap orang yang sudah berusia 21 (dua puluh satu)
tahun bukan merupakan keharusan secara hukum untuk mendapatkan izin kedua orang
tua untuk menikah (lihat Pasal 6 ayat [2] UUP]. Meskipun, secara moral,
sebaiknya izin (restu) kedua orang tua diperoleh sebelum perkawinan
dilangsungkan. Akan tetapi, dalam hal perkawinan dilakukan antar pasangan yang
beragama Islam berlaku ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga,
dalam hal perkawinan dilakukan antar pasangan yang beragama Islam berlaku
ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut hukum Islam, seperti
diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), untuk melaksanakan
perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon Istri
c. Wali Nikah
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijab dan kabul
Jadi, menurut hukum Islam, kelima syarat tersebut di atas harus
dipenuhi agar perkawinan sah. Perkawinan dapat dibatalkan jika (Pasal 71 KHI):
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari
Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri pria lain yang mafqud;
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Dengan demikian, tanpa adanya wali dari A, pernikahan antara A dan
B dapat dibatalkan.
Juga dalam Pasal 27 KUHPerdata ditentukan bahwa pada waktu yang
sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan seorang perempuan
saja dan begitu pula sebaliknya. Ketentuan ini menguatkan azas monogami yang
berlaku di kalangan Kristen. Di kalangan Islam, meskipun pada dasarnya azas
perkawinan adalah monogami, tapi bisa saja berubah menjadi poligami. Tentu,
dengan syarat-syarat tertentu yang tak gampang, seperti harus mendapat
persetujuan istri.
Terhadap suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan
tersebut, maka terhadap perkawinan tersebut dapat diajukan pembatalannya (lihat Pasal
22 UUP).
Soal pembatalan perkawinan akibat poligami tanpa persetujuan istri
ini, Mahkamah Agung (“MA”) pernah melakukannya. Pada 10 Maret
1999, melalui putusan no. 2039 K/Pdt/1997, MA menetapkan pembatalan
perkawinan antara Mukalo Alam Wibowo dan Widi Astuti. Majelis kasasi MA yang
diketuai M. Yahya Harahap memutuskan perkawinan Mukalo-Widi tak memenuhi
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Perkawinan. Pasal 4 UU Perkawinan menyatakan, jika
hendak berpoligami, seorang suami harus mengajukan izin kepada pengadilan
setempat. Sementara itu, pasal 5 UU Perkawinan menegaskan, salah satu syarat
mengajukan permohonan poligami adalah adanya persetujuan dari istri. Alhasil,
perkawinan Mukalo-Widi itu dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Bahkan,
perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.
Jadi, tanpa adanya persetujuan istri pertama dan izin dari
Pengadilan, perkawinan kedua tersebut dapat diajukan pembatalannya.
Selain itu, juga terdapat ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
yang bisa dipakai untuk menjerat suami yang menikah lagi tanpa izin istri
pertama (kedua atau ketiga). Salah satunya yaitu Pasal 279 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 279
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang
sah untuk itu;
2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
3. Upaya hukum terhadap KUA
Yang dapat Anda lakukan dalam hal ini adalah mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan yang diajukan kepada pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan (lihat Pasal
74 ayat [1] KHI) dan bukan menuntut KUA karena KUA hanya sebagai pelaksana.
Terutama dalam hal ini B melakukan pemalsuan identitas sehingga tidak terikat
perkawinan dan dimungkinkan untuk menikah lagi sepanjang persyaratan lain
terpenuhi (kami kurang jelas hal lain apa saja yang dilakukan B untuk memenuhi
persyaratan perkawinan).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
5. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991);
Sumber:
-www.hukumonline.com
0 Response to "Langkah Hukum Jika Dikawini Pria Beristri yang Mengaku Duda"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!