Kekuatan Pembuktian Pengakuan Terdakwa di Persidangan
Kekuatan Pembuktian Pengakuan Terdakwa di Persidangan
Pertanyaan:
Apakah pengakuan tersangka dalam kasus pembunuhan dapat
dijadikan fakta materiil di dalam persidangan?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada
pendapat Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Yahya mengatakan bahwa penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur
dalam hukum acara pidana selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengakui
tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Seandainya terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan
kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan
kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Pengakuan bersalah dari
terdakwa sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuntut umum dan persidangan
untuk menambah dan menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain
(hal. 275).
Lebih lanjut Yahya mengatakan hal ini ditegaskan dalam
rumusan Pasal 189 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
Adapun alat bukti sah yang dikenal dalam Pasal 184 ayat
(1) KUHAP ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Menurut Yahya (Ibid), apa yang tersirat pada Pasal 189
ayat (4) KUHAP mempunyai makna bahwa pengakuan menurut KUHAP bukan alat bukti
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang “sempurna” atau bukan volledig bewijs
kracht, juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang “menentukan” atau bukan beslissende
bewijs kracht. Oleh karena pengakuan atau keterangan terdakwa bukan alat bukti
yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, penuntut umum
dan persidangan tetap mempunyai kewajiban berdaya upaya membuktikan kesalahan
terdakwa dengan alat bukti yang lain. KUHAP tidak mengenal keterangan atau
“pengakuan yang bulat” dan “murni”. Ada atau tidak pengakuan terdakwa,
pemeriksaan pembuktian kesalahan terdakwa tetap merupakan kewajiban dalam
persidangan.
Anda menyebutkan istilah “fakta materiil” di dalam
pertanyaan. Kami ingin meluruskan bahwa istilah yang dikenal dalam hukum acara
pidana adalah kebenaran materiil. Dalam membuktikan suatu perkara pidana, hakim secara aktif harus mencari dan
menemukan kebenaran materiil (kebenaran yang sesungguhnya), yaitu bahwa tindak
pidana sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap
terdakwa adalah benar-benar terjadi, dan benar terdapat kesalahan terdakwa
(baik kesengajaan maupun kelalaian), serta dapat dipertanggungjawabkannya
tindak pidana tersebut oleh terdakwa.
Menjawab pertanyaan Anda apakah pengakuan tersangka dalam
kasus pembunuhan dapat dijadikan kebenaran materiil di persidangan sekaligus
menyambung penjelasan tentang KUHAP yang tidak mengenal keterangan atau
“pengakuan yang bulat” dan “murni” di atas, Yahya menjelaskan bahwa ini sesuai
dengan kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam perkara pidana.
Kebenaran yang harus ditemukan dan diwujudkan dalam pemeriksaan perkara pidana
adalah “kebenaran sejati” atau materiil waarheid atau ultimate truth atau
disebut juga absolute truth. Oleh karena itu, pengakuan atau keterangan
terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan kebenaran sejati (kebenaran
materiil) tanpa dikuatkan dengan alat bukti yang lain.
Selain itu, masih berkaitan dengan pembuktian perkara
pidana, KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Hal ini terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Terkait dengan hal ini, Yahya (Ibid, hal. 280)
menjelaskan bahwa dari bunyi pasal tersebut, KUHAP menganut sistem “pembuktian
menurut undang-undang secara negatif”. Dalam pembuktian menurut undang-undang
secara negatif, seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila
kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian
kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim (Ibid, hal. 279).
Jadi, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang
terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepadanya harus (Ibid, hal. 280):
- kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah;
- dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Lebih lanjut dijelaskan Yahya (Ibid) bahwa tujuan pembuat
undang-undang merumuskan pasal tersebut adalah seminimal mungkin menjamin tegaknya
kebenaran materiil serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang
juga disebut dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP.
Dari rumusan pasal di atas dapat kita tarik kesimpulan
pula bahwa pengakuan terdakwa tentu tidak cukup dijadikan bukti untuk
memperoleh kebenaran materiil, namun harus dikuatkan dengan alat bukti lainnya
dan keyakinan hakim.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Referensi:
Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Sumber : hukumonline.com
0 Response to "Kekuatan Pembuktian Pengakuan Terdakwa di Persidangan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!